Selain menyimpan keindahan alam yang eksotik dan alami, keberadaan pulau-pulau yang terhampar di perairan teluk Jakarta ternyata memiliki sejarah panjang dengan keunikannya masing-masing. Salah satunya seperti Pulau Panggang. Ya, Pulau Panggang, salah satu pulau di Kecamatan Kepulauan Seribuutara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ternyata memiliki sejarah panjang dan heroik. Berbagai versi pun muncul melatarbelakangi asal muasal cerita Pulau Panggang. Sebagian besar masyarakat yang bermukim di pulau ini meyakini adanya cerita seorang ksatria yang lebih dikenal dengan sebutan, Pendekar Darah Putih. Kala itu, sang ksatria sempat terdampar di pulau tersebut yang saat ini bernama Pulau Panggang.
Masyarakat setempat meyakini terdapat dua versi mengenai Riwayat Pendekar Darah Putih. Cerita pertama, konon pendekar tersebut terdampar di Pulau Paniki yang letaknya tak jauh dari Pulau Panggang. Kala itu, warga setempat yang tengah mencari ikan menemukan sang pendekar tergeletak dengan kondisi tak sadarkan diri di pantai Pulau Paniki.
Sedangkan versi kedua menyebutkan, Pendekar Darah Putih berasal dari daerah Mandar, Sulawesi. Sedangkan kedatangannya di Pulau Panggang kala itu untuk mencari kerabatnya. "Warga sendiri menggambarkan kalau Pendekar Darah Putih adalah sosok lelaki gagah berani yang memiliki ilmu beladiri tinggi. Hal itu diketahui, setelah Pendekar Darah Putih bersama warga berhasil mengusir dan menangkap segerombolan perompak atau bajak laut yang waktu itu akan merampok harta benda warga Pulau Panggang," ujar Hamdi (33), Ketua Sanggar Apung Pulau Panggang, kepada beritajakarta.com, Rabu (29/2).
Sejarah Pendekar Darah Putih, dikatakan Hamdi, dimulai saat sang ksatria tersebut bertarung dengan belasan perompak atau bajak laut. Dalam pertarungan yang tidak berimbang itu, perompak berhasil melukai lengannya. Namun, dari luka tersebut, bukannya darah merah yang keluar, tetapi justru mengeluarkan darah berwarna putih. "Sejak saat itu, warga memberinya gelar Pendekar Darah Putih," kata Hamdi.
Menurut Hamdi, keberadaaan Pendekar Darah Putih ini berkaitan erat dengan nama Pulau Panggang. Dengan aksi heroiknya, Pendekar Darah Putih yang saat itu dibantu warga akhirnya berhasil mengalahkan gerombolan perompak, serta berhasil menawan tiga dari belasan perompak yang menyerangnya. "Pendekar ini mencari siasat dengan menyuruh warga membuat perapian (Pemanggangan), agar para perompak tersebut merasa kapok dan tidak kembali lagi," ucapnya.
Setelah membuat pemanggangan tersebut, api yang berkobar besar dari pemanggangan itu membuat nyali perompak menjadi ciut. Warga pun sempat berteriak agar para perompak itu dipanggang hidup-hidup. Kemudian salah seorang warga bersandiwara untuk berteriak kepanasan, seperti terbakar hingga teriakan terhenti seakan sudah meregang nyawa.
Mendengar teriakan itu, tawanan yang ditutupi matanya dengan sehelai kain pun merasa takut. Tawanan itu menganggap, salah satu rekannya telah tewas di atas pemanggangan terpanggang api. Sebab, tercium bau daging terbakar oleh para tawanan ini. Padahal bau itu berasal dari seekor kambing yang sengaja dibakar oleh Pendekar Darah Putih. "Setelah siasat itu selesai, dua perompak kemudian dilepas dan yang lainnya ditawan di suatu tempat yang tidak diketahui," ungkap Hamdi.
Berkat keberanian Pendekar Darah Putih, warga setempat akhirnya menamakan pemukimannya tersebut sebagai Pulau Panggang. Memang tidak ada yang mencatat perjalanan hidup Pendekar Darah Putih penyelamat Pulau Panggang ini. Namun, sebagian besar masyarakat Pulau Panggang secara turun temurun mempercayai riwayat tersebut dengan adanya batu nisan yang terdapat di Pulau Panggang, dan juga menjaga peninggalan makam kuno yang diyakini tempat
bersemayamnya sang pendekar tersebut. "Kami belum mengetahui tahun berapa muncul dan tewasnya Pendekar Darah Putih. Namun, saat itu, riwayatnya kira-kira bersamaan dengan periode zaman si Pitung," ungkapnya.
Hamdi juga mengungkapkan, pada tahun 1761, Pulau Panggang menjadi tempat perlintasan atau tempat persinggahan masyarakat yang akan menuju Pulau Paniki dan Pulau Sabira sebelum tiba di Batavia yang pada waktu itu masih dikuasai VOC. Pada tahun 1824, berdasarkan kartografi, pulau panggang telah berpenghuni. "Dulu pada tahun 1761 Pulau Panggang disebut juga Pulau Pangan, dan di tahun 1906 menjadi Pulau Long atau Pulau Panjang, dan pada tahun 1986 ditetapkan sebagai Kelurahan Pulau Panggang, tetapi meningkatnya status Kepulauan Seribu dari kecamatan menjadi kabupaten administrasi, Kelurahan Pulau Panggang disahkan kembali pada 27 Juli 2000 silam," kata Hamdi.
Peninggalan sejarah yang masih tampak kokoh dan terpelihara adalah gedung bertipe zaman kolonial yang kini dijadikan Kantor Kelurahan Pulau Panggang. Meski sudah mengalami renovasi, keaslian gedung yang diperkirakan dibangun pada tahun 1618 ini tetap dipertahankan hingga kini. "Menempati area seluas 62,10 hektar, Kelurahan Pulau Panggang kini dihuni sekitar 5.443 jiwa yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan," katanya.
Selain itu, terdapat juga makam-makam kuno yang diyakini masyarakat setempat sebagai makam Pendekar Darah Putih, Kapitan Saudin dan Kapitan Abdul Malik yang berasal dari Banten. "Makam-makam kuno itu juga merupakan bagian dari peninggalan sejarah panjang Pulau Panggang," tuturnya.
Bagi para wisatawan, yang ingin berkunjung ke Kelurahan Pulau Panggang tak perlu khawatir akan kesulitan mengunjunginya. Sebab, saat ini, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan alat transportasi yang memudahkan para pengunjung menuju kawasan Kepulauan Seribu termasuk Pulau Panggang. Ya, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan alat transportasi laut dari dermaga Pantai Marina Jaya Ancol dan Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara yang baru diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, Januari lalu.
Di Pantai Marina, disediakan transportasi berupa speedboat, sehingga waktu yang ditempuh akan lebih cepat. Sedangkan, di Pelabuhan Muara Angke terdapat kapal Lumba-Lumba atau Kerapu, dan kapal ojek atau kapal tradisional dengan tarif relatif lebih terjangkau dengan waktu tempuhnya yang lumayan panjang. Sedangkan jarak Pulau Panggang dari daratan Jakarta kurang lebih dapat ditempuh sejauh 74 kilometer.
Masyarakat setempat meyakini terdapat dua versi mengenai Riwayat Pendekar Darah Putih. Cerita pertama, konon pendekar tersebut terdampar di Pulau Paniki yang letaknya tak jauh dari Pulau Panggang. Kala itu, warga setempat yang tengah mencari ikan menemukan sang pendekar tergeletak dengan kondisi tak sadarkan diri di pantai Pulau Paniki.
Sedangkan versi kedua menyebutkan, Pendekar Darah Putih berasal dari daerah Mandar, Sulawesi. Sedangkan kedatangannya di Pulau Panggang kala itu untuk mencari kerabatnya. "Warga sendiri menggambarkan kalau Pendekar Darah Putih adalah sosok lelaki gagah berani yang memiliki ilmu beladiri tinggi. Hal itu diketahui, setelah Pendekar Darah Putih bersama warga berhasil mengusir dan menangkap segerombolan perompak atau bajak laut yang waktu itu akan merampok harta benda warga Pulau Panggang," ujar Hamdi (33), Ketua Sanggar Apung Pulau Panggang, kepada beritajakarta.com, Rabu (29/2).
Sejarah Pendekar Darah Putih, dikatakan Hamdi, dimulai saat sang ksatria tersebut bertarung dengan belasan perompak atau bajak laut. Dalam pertarungan yang tidak berimbang itu, perompak berhasil melukai lengannya. Namun, dari luka tersebut, bukannya darah merah yang keluar, tetapi justru mengeluarkan darah berwarna putih. "Sejak saat itu, warga memberinya gelar Pendekar Darah Putih," kata Hamdi.
Menurut Hamdi, keberadaaan Pendekar Darah Putih ini berkaitan erat dengan nama Pulau Panggang. Dengan aksi heroiknya, Pendekar Darah Putih yang saat itu dibantu warga akhirnya berhasil mengalahkan gerombolan perompak, serta berhasil menawan tiga dari belasan perompak yang menyerangnya. "Pendekar ini mencari siasat dengan menyuruh warga membuat perapian (Pemanggangan), agar para perompak tersebut merasa kapok dan tidak kembali lagi," ucapnya.
Setelah membuat pemanggangan tersebut, api yang berkobar besar dari pemanggangan itu membuat nyali perompak menjadi ciut. Warga pun sempat berteriak agar para perompak itu dipanggang hidup-hidup. Kemudian salah seorang warga bersandiwara untuk berteriak kepanasan, seperti terbakar hingga teriakan terhenti seakan sudah meregang nyawa.
Mendengar teriakan itu, tawanan yang ditutupi matanya dengan sehelai kain pun merasa takut. Tawanan itu menganggap, salah satu rekannya telah tewas di atas pemanggangan terpanggang api. Sebab, tercium bau daging terbakar oleh para tawanan ini. Padahal bau itu berasal dari seekor kambing yang sengaja dibakar oleh Pendekar Darah Putih. "Setelah siasat itu selesai, dua perompak kemudian dilepas dan yang lainnya ditawan di suatu tempat yang tidak diketahui," ungkap Hamdi.
Berkat keberanian Pendekar Darah Putih, warga setempat akhirnya menamakan pemukimannya tersebut sebagai Pulau Panggang. Memang tidak ada yang mencatat perjalanan hidup Pendekar Darah Putih penyelamat Pulau Panggang ini. Namun, sebagian besar masyarakat Pulau Panggang secara turun temurun mempercayai riwayat tersebut dengan adanya batu nisan yang terdapat di Pulau Panggang, dan juga menjaga peninggalan makam kuno yang diyakini tempat
bersemayamnya sang pendekar tersebut. "Kami belum mengetahui tahun berapa muncul dan tewasnya Pendekar Darah Putih. Namun, saat itu, riwayatnya kira-kira bersamaan dengan periode zaman si Pitung," ungkapnya.
Hamdi juga mengungkapkan, pada tahun 1761, Pulau Panggang menjadi tempat perlintasan atau tempat persinggahan masyarakat yang akan menuju Pulau Paniki dan Pulau Sabira sebelum tiba di Batavia yang pada waktu itu masih dikuasai VOC. Pada tahun 1824, berdasarkan kartografi, pulau panggang telah berpenghuni. "Dulu pada tahun 1761 Pulau Panggang disebut juga Pulau Pangan, dan di tahun 1906 menjadi Pulau Long atau Pulau Panjang, dan pada tahun 1986 ditetapkan sebagai Kelurahan Pulau Panggang, tetapi meningkatnya status Kepulauan Seribu dari kecamatan menjadi kabupaten administrasi, Kelurahan Pulau Panggang disahkan kembali pada 27 Juli 2000 silam," kata Hamdi.
Peninggalan sejarah yang masih tampak kokoh dan terpelihara adalah gedung bertipe zaman kolonial yang kini dijadikan Kantor Kelurahan Pulau Panggang. Meski sudah mengalami renovasi, keaslian gedung yang diperkirakan dibangun pada tahun 1618 ini tetap dipertahankan hingga kini. "Menempati area seluas 62,10 hektar, Kelurahan Pulau Panggang kini dihuni sekitar 5.443 jiwa yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan," katanya.
Selain itu, terdapat juga makam-makam kuno yang diyakini masyarakat setempat sebagai makam Pendekar Darah Putih, Kapitan Saudin dan Kapitan Abdul Malik yang berasal dari Banten. "Makam-makam kuno itu juga merupakan bagian dari peninggalan sejarah panjang Pulau Panggang," tuturnya.
Bagi para wisatawan, yang ingin berkunjung ke Kelurahan Pulau Panggang tak perlu khawatir akan kesulitan mengunjunginya. Sebab, saat ini, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan alat transportasi yang memudahkan para pengunjung menuju kawasan Kepulauan Seribu termasuk Pulau Panggang. Ya, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan alat transportasi laut dari dermaga Pantai Marina Jaya Ancol dan Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara yang baru diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, Januari lalu.
Di Pantai Marina, disediakan transportasi berupa speedboat, sehingga waktu yang ditempuh akan lebih cepat. Sedangkan, di Pelabuhan Muara Angke terdapat kapal Lumba-Lumba atau Kerapu, dan kapal ojek atau kapal tradisional dengan tarif relatif lebih terjangkau dengan waktu tempuhnya yang lumayan panjang. Sedangkan jarak Pulau Panggang dari daratan Jakarta kurang lebih dapat ditempuh sejauh 74 kilometer.
0 komentar:
Posting Komentar